MUDIK DAN COVID-19

Konten [Tampil]

Banyak tradisi unik yang dijalani oleh masyarakat Indonesia, salah satunya tradisi Mudik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Mudik disinonimkan dengan istilah pulang kampung. Dimana mudik diartikan sebagai kegiatan perantau/pekerja migran untuk pulang ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran.

Kata mudik berasal dari kata "udik" yang artinya selatan/hulu. Pada zaman dahulu sebelum di Jakarta terjadi urbanisasi besar-besaran, masih banyak wilayah yang bernama akhir udik atau ilir (utara atau hilir) dan kebanyakan akhiran itu diganti dengan kata Melayu selatan atau utara. Contohnya seperti Meruya UdikMeruya IlirSukabumi UdikSukabumi Ilir, dan sebagainya.

Pada saat Jakarta masih bernama Batavia, suplai hasil bumi daerah kota Batavia diambil dari wilayah-wilayah di luar tembok kota di selatan. Karena itu, ada nama wilayah Jakarta yang terkait dengan tumbuhan, seperti Kebon Jeruk, Kebon Kopi, Kebon Nanas, Kemanggisan, Duren Kalibata, dan sebagainya. Para petani dan pedagang hasil bumi tersebut membawa dagangannya melalui sungai. Dari situlah muncul istilah milir-mudik, yang artinya sama dengan bolak-balik. Mudik atau menuju udik saat pulang dari kota kembali ke ladangnya, begitu terus secara berulang kali.

Namun, sejak mewabahnya virus Corona di tahun 2020, berdampak pada pelarangan mudik bagi masyarakat yang ingin pulang kampung. Dan di tahun 2021 ini larangan mudik atau pulang kampung kembali dilakukan oleh pemerintah. Pelarangan ini dilakukan terkait masih merebaknya penyebaran virus covid-19 atau visrus corona yang semakin masif dari hari ke hari.

Terlebih adanya virus corona dengan jenis baru yang menurut berita sudah masuk ke Indonesia, juga adanya kekhawatiran terjadinya “tsunami” covid-19 seperti di Negara India. Penduduk yang terkena kasus covid sampai ribuan per harinya, bahkan yang terkonfirmasi meninggal pun tidak sedikit. Akibatnya pelayanan rumah sakit tidak terkendali, dan tempat-tempat pembakaran mayat pun sudah tidak bisa melayani.

Berkaca dari apa yang terjadi di India, Indonesia mencoba mengantisifasi agar kejadian yang serupa seperti di India tidak terjadi di Indonesia. Dan salah satu jalan yang bisa menekan semua itu adalah dengan pelarangan mudik.

Alasan pemerintah sungguh sangat logic, ibarat pepatah mengatakan “sedia payung sebelum hujan” atau “lebih baik mencegah daripada mengobati”.

Tapi, tak ada kebijakan tanpa ada kritikan dan dampak. Begitu pun dengan adanya kebijakan pelarangan mudik ini muncul masalah-masalah baru, misalnya kritikan datang dari pengusaha otobus dan masyarakat pemudik itu sendiri.

Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Keinginan masyarakat yang ingin mudik tidak salah, karena alasan mereka mudik ingin melepaskan rindu bersama keluarga sungguh alasan sangat masuk akal. Begitupun juga pemerintah punya alasan yang kuat dengan mengeluarkan kebijakan larangan mudik tersebut.

Pemerintah juga harus betul-betul serius, jangan sampai masih ditemukan oknum petugas yang memperbolehkan pemudik bisa melewati penjagaan karena menerima suap. Juga jika mudik dilarang karena alasan virus corona, maka larangan buat tempat-tempat yang bisa menyebarkan virus juga mesti ditutup.

Pun juga para pejabat, tokoh agama, tokoh selebritis  harus memberikan contoh kalau mereka pun tidak melakukan mudik. Terlebih mereka harus selalu melakukan himbauan agar menerima kebijakan pemerintah. Intinya tidak ada kebijakan ganda.

Jika pemerintah mempromosikan mudik virtual, pemerintah mesti menyediakan fasilitas atau sarana prasarana yang memadai dan semuanya mudah dan gratis.

terakhir, mudah-mudahan wabah virus corona ini akan segera berakhir, sehingga tradisi mudik dengan segala “keruwetannya”akan kembali ada ditahun yang akan datang. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar