Pandangan Sosiologis Tehadap Tradisi Nisfu Sya'ban

Konten [Tampil]

Ada satu tradisi yang sering dilakukan oleh umat Islam tepat di malam ke-15 di bulan Sya'ban, tradisi itu dinamakan tradisi Nisfu Sya'ban. Saya sendiri sejak kecil sudah ikut melakukan tradisi Nisfu Sya'ban ini sebagai tradisi yang saya anggap tradisi yang penuh sakral. 

Pandangan sosiologi terhadap nisfu sya'ban


Makna Religius Nisfu Sya'ban

Jika dilihat secara etimologis, Nisfu itu artinya setengah atau pertengahan dan Sya'ban artinya bulan Sya'ban. Jadi Nisfu Sya'ban itu artinya pertengahan bulan Sya'ban. Sedangakan secara terminologi Nisfu Sya'ban itu adalah pertengahan bulan Sya'ban yang jatuh pada hari ke-15

Biasanya di kampung dimana saya tinggal, di setiap malam tanggal ke-15 itu sering dilaksanakan kegiatan pembacaan yasinan sebanyak 3 (tiga) kali, semuanya dilaksanakan sehabis sholat magrib serta dipimpin oleh ustad atau kiai yang biasa memimpin para jamaah. Dan para jamaah biasanya membawa air yang nantinya akan didoakan, dan ada kepercayaan  serta keyakinan bahwa air yang didoakan akan memberikan keberkahan.

Sebelum ustad atau kiai memimpin bacaan surat yasin, biasanya ustad atau kiai menjelaskan perihal tentang keutamaan Nisfu Sya'ban, lalu dilanjutkan dengan pembacaan tahlil, baru kemudian pembacaan surat yasin sebanyak 3 (tiga) kali.

Pandangan sosiologi terhadap nisfu sya'ban


Ada 3 (tiga) permintaan atau doa yang dipanjatkan setiap selesai membaca surat yasin. Setelah membaca surat yasin yang pertama, kita berdoa meminta kepada Allah SWT Agar diberikan kesehatan dan diperpanjangkan umurnya. Setelah bacaan surat Yasin yang kedua kita meminta agar Allah memberikan rezeki yang berlimpah dan halal. Da setelah bacaan Yasin yang ketiga kita memohon agar Allah SWT menetapkan iman dan Islam. Acara kemudian ditutup dengan membacakan doa Nisfu Sya`ban.

Pandangan Sosiologi Terhadap Tradisi Nisfu Sya'ban

Terlepas dari shahih atau tidaknya dalil yang digunakan dalam melaksanakan tradisi Nisfu Sya'ban ini, saya akan memandang tradisi ini dari sudut pandang sosiologis. Dan kaca mata yang akan saya gunakan adalah teori triad dialektis dari Peter L. Berger, yaitu eksternalisasi, objektivitasi, dan internalisasi. 

Nisfu Sya'ban


Pertama adalah tahap eksternalisasi di mana orang-orang kebanyakan melakukan tradisi Nisfu Sya'ban karena mengikuti tradisi yang telah ada, tindakan tersebut berawal dari pengaruh yang ada diluar dirinya atau lingkungan sekitarnya. Kebanyakan orang melaksanakan tradisi Nisfu Sya’ban berawal dari proses eksternalisasi seseorang. 

Tahap kedua adalah objektivitasi, yaitu muncul pemahaman bahwa tradisi yang sudah dilakukan sebelumnya itu mengandung sesuatu yang baik, sehingga alangkah baiknya momen nisfu Sya’ban diisi dengan memperbanyak amal ibadah, terlebih lagi amaliyah yang jarang dilakukan oleh orang awam seperti shalat hajat dan shalat tasbih jika dilaksanakan sendirian. Tanpa harus mengetahui dan mendalami pemahaman tentang dalil keutamaan nisfu Sya’ban. 

Tahap ketiga adalah internalisasi yaitu seseorang yang telah terbiasa melaksanakan tradisi pada nisfu Sya’ban akan terus melaksanakannya tanpa berpikir banyak. Dia akan merasakan kepuasan spiritual ketika melaksanakannya dan merasakan ada yang kurang jika meninggalkannya. Tradisi tersebut telah mendarah daging dalam kehidupannya.

Bagi saya pribadi yang sangat awam terhadap dalil-dalil tentang Nisfu Sya’ban, selama tradisi itu mengandung sesuatu yang positif dan tidak bertentangan dengan syariat serta adat, kenapa harus bicara boleh atau tidak boleh dilakukan dan dalilnya kuat atau lemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar