Janji Diriku untuk Hatiku

Konten [Tampil]

Temen-temen bilang sih Dia itu suka kepadaku, tapi sampai sekarang di saat kami berdua akan segera meningggalkan sekolah, tanda-tanda kalau Dia suka tidak terlihat.

Entahlah, yang pasti Dia sahabat terbaikku. Sahabat yang selalu menjadi pendengar setiaku dikala Aku sedang rapuh dan terpuruk. Malah sebaliknya, terkadang Aku mikir, sepertinya Dia nggak pernah sedih, buktinya Dia nggak pernah curhat sama sekali.



Jujurly Dia orang yang paling mengerti dengan kondisi orang introvert seperti Aku. Dia tidak pernah risih dengan kondisiku yang selalu minta dimanjakan, bahkan mungkin sedikit maksa.

Memang ada yang aneh yang kulihat dari dirinya, jika Aku jalan dengan cowok lain, atau disaat Aku ngomongin ada yang suka kepadaku. Raut muka dan gestur tubuhnya seperti kurang nyaman, dan selalu mengalihkan isi pembicaraan.

Padahal seandainya Dia tahu apa yang ada dihatiku, apa yang kurasakan, dan apa yang kupikirkan, mungkin Aku tak secapek dan selelah seperti sekarang ini. Seandainya dia bisa merasakan betapa Aku sangat menunggu sikap dan jawabannya, hatiku akan lebih lega.

Sampai saat ini Aku hanya berpikir, mungkin baginya persahabatan jauh lebih nyaman, tak ada kata putus, tak ada kata syarat, dan tak ada kata bohong. Beda jika persahabatan itu diubah menjadi sebuah cinta, pasti tanpa disadari akan ada persyaratan, situasi nggak enakan, atau bahkan ada putusnya. Semua itu hanya sebatas perkiraanku saja tentang dirnya.

Tak baik menunda hal yang membuat pikiran cemas, dan itulah menjadi alasan kenapa Aku memberanikan diri bertanya kepadanya tentang perasaannya kepadaku. Meski, ini diluar kebiasaan, yang biasanya laki-laki dulu yang harus mengutarakan isi hatinya, dan perempuan hanya menunggu.

Namun, Aku coba mindsetnya diubah, apakah akan jatuh harga diri seorang perempuan jika yang duluan bertanya tentang perasaan laki-lakinya? Aku jawab, sepertinya bisa saja. Karena bagiku sebagai perempuan yang suka filsafat, kita dikodratkan memiliki akal untuk difungsikan buat berpikir. Jika pikiranku mengatakan bahwa tidak harus laki-laki atau perempuan yang bertanya duluan tentang rasa, kenapa harus dipersoalkan dan dipegang teguh. Ini masalah waktu dan kesempatan.

Aku utarakan semuanya tentang rasa ini, tepat dimana senja akan bertemu langit. Saat itu senja begitu memerah merona, dan langit terlihat cerah seakan sudah tahu apa yang akan diutarakan dari hati dan pikiranku.

Malampun yang ada diatasku saat itu, kupaksa diminta bantuannya, agar menguatkan mentalku. Tapi, ada sebuah quotes yang kuingat yang bunyinya : Hadiah terindah adalah apa yang kamu miliki, dan takdir terbaik adalah apa yang kamu jalani. Dan itulah yang kurasakan malam itu disaat Dia jujur tentang isi hati dan perasaannya.

Janji diriku untuk hatiku telah selesai kujalankan, dan jawabannya adalah HADIAH TERINDAHKU SAAT INI ADALAH MEMILIKI SAHABAT SEBAIK DIA. DAN TAKDIR TERBAIKKU SAAT INI ADALAH MENJALANI PERSAHABATAN DENGAN DIA.

Apakah hadiah dan takdirnya akan berubah? Tidak akan berharap apalagi memaksa, Allah lebih tahu apa yang dibutuhkan hambanya. Aku yakin dan percaya bahwa skenario Allah itu baik dan tepat untuk hambanya.

Dari jawaban Dia Aku belajar tentang sebuah kepasrahan yang dilandasi memahami dan mengerti diri. Mampu mengendalikan emosi sehingga bisa tetap tenang dalam kerapuhan. Itulah yang pernah kupelajari dari Filsafat Stoikisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar