Ayah, Nggak Bisa Ikut Wisuda

Konten [Tampil]

Begitu bahagia ketika saya dinyatakan lulus sidang skripsi oleh para penguji. Meski ada sedikit perbaikan, namun semua itu terlupakan dengan kelulusan sidang. Tinggal satu tahap lagi yakni wisuda.

Sahabat sosiologi


Sayapun langsung pulang ke kampung halaman, untuk mengabarkan berita bahagia ini kepada kedua orang tua, kakak-kakak dan juga kepada istriku.

Sesampainya di rumah, saya langsung menemui ayah saya yang memang setahun ini kondisi tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Saya langsung bilang, "saya sudah lulus, Pak". Lalu saya lanjutkan omongan saya kepada ayah saya, "InsyaAllah dua bulan lagi saya diwisuda, ayah dan ibu pokoknya harus mendampingi saya", begitu kata saya kepada ayah.

Namun, ekspresi atau raut muka ayah saya ketika mendengar berita bahagia itu tidak seperti ekspresi istriku yang sangat bahagia. Wajahnya begitu datar, hanya tersenyum tipis, serta hanya ucapan singkat yang keluar dari mulutnya yaitu ucapan alhamdulillah.

Saya nggak ambil pusing melihat ekspresi ayah saya, mungkin karena kondisi fisiknya yang sedang tidak fit. Yang penting saya telah menyelesaikan kuliah dengan tepat waktu, sehingga tidak membebani kedua orang tua lebih lama lagi.

Mungkin ekspresi ayahku waktu itu, yang hanya senyum tipis ketika mendengar kelulusan saya, adalah sebuah firasat kalau tugasnya menjadi seorang ayah buatku telah selesai dan meminta maaf tidak bisa mengantarkan dan menemani anak bungsunya untuk diwisuda. Kayak baru sadar sekarang, dulu itu ayahku seperti mau mengucapkan, "maaf, ayah nggak bisa ikut wisuda, Nak".

Hanya selang sebulan setelah saya dinyatakan lulus dan meminta ayah dan ibu untuk menemaniku diwisuda, ayahku harus meninggalkanku untuk selamanya. Hancur, sedih, itulah perasaan saat itu. Namun saya menerima takdir itu dengan ikhlas. Dan akhirnya saya putuskan waktu itu untuk tidak ikut diwisuda.

Semoga ayah dan ibuku diberikan tempat yang layak oleh Allah SWT.

1 komentar: